pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Wednesday 6 May 2015

Marah Yang di Bolehkan



Marah merupakan sifat alami yang dimiliki manusia, oleh karena itu sifat marah tidak dapat dihilangkan dari hati seseorang. Setiap manusia memiliki potensi untuk marah. Sehingga marah hanya dapat ditundukkan dan diarahkan kepada yang bermanfaat yang sesuai dengan keridhaan Allah subhanahu wata’ala. Maka dari itu, tidak semua marah tercela, terkadang ada marah yang di bolehkan bahkan pada kondisi tertentu malah  diwajibkan, yaitu marah yang disebabkan semata-mata karena Allah subhanahu wata’ala bukan karena alasan keduniaan.
 Kita marah karena hak-hak Allah subhanahu wata’ala dilanggar, seperti perusakan terhadap Aqidah yakni melakukan kesyirikan, menyembah kuburan,  mengaku ada nabi setelah Nabi Muhammad salallahu’alaihi wasallam dan mencela para Sahabat Nabi. Kita marah karena melihat kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan bid’ah. Kita marah terhadap orang-orang kafir yang menzalimi kaum muslimin seperti yang terjadi di beberapa negara Islam terkhusus pembantaian orang-orang Yahudi terhadap kaum muslimin di Palestina.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. dan Allah menerima taubat orang yang dikehendakiNya. Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 14-15)
Dan Allah juga berfirman:  
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS. At Tahrim: 9)
Dalam ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa kaum muslimin juga marah terhadap orang-orang kafir yang melakukan kezhaliman terhadap orang-orang mukmin yang tidak berdosa, bahkan Allah berjanji akan membantu kaum muslimin sehingga hati orang-orang yang beriman menjadi lega.
Kemudian dari Aisyah radhiallahu’anha berkata: “Rasulullah salallahu’alaihi tidak membalas untuk dirinya sesuatu yang datang kepadanya sehingga sesuatu itu menyerang hak-hak Allah, maka Beliau akan membalas untuk Allah.” (HR. Bukhari)
Selain itu disebutkan dalam shahih bukhari, bahwa Rasulullah salallahu’alaihi wasallam sangat pemalu dari pada seorang gadis, maka jika Beliau melihat sesuatu yang tidak di sukainya, kita akan melihatnya dalam raut wajah Beliau.
Aisyah radhiallahu’anha juga telah meriwayatkan bahwa kaum Quraisy lebih mementingkan urusan wanita kaya yang telah mencuri, mereka berkata: “Siapa yang akan berbicara kepada Rasulullah salallahu’alaihiwasallam?”
Maka mereka berkata: “Orang yang berani berbicara kepadanya hanya Usamah, karena kecintaan Rasulullah salallahu’alaihi wasallam (kepadanya).”
Oleh karena itu Usamah radhiallahu’anhu bicara kepada Beliau, lalu Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda: “Apakah kamu memintakan pertolongan (agar diberi keringanan) untuk sebuah hukum dari hukum-hukum Allah? Beliau lalu berdiri dan berkhutbah lalu bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa, sesungguhnya dulu, jika ada orang terhormat mencuri, mereka melepaskannya (tidak menghukumnya), tetapi jika ada orang yang lemah mencuri, maka mereka menghukumnya. Aku bersumpah atas nama Allah, jika Fatimah putri Muhammad mencuri, pasti kupotong tangannya.” (HR. Muslim)
Dari Aisyah radhiallahu’anha juga berkata bahwa: “Rasulullah salallahu’alaihi wasallam masuk kekamarku, dan aku telah menutup rak milikku dengan kain tipis yang bergambar patung. Ketika melihat kain itu, Beliau meyobeknya, merona wajahnya dan bersabda: “Wahai Aisyah, orang yang paling keras disiksa pada hari kiamat adalah orang yang menyamai (menggambar) ciptaan Allah.” (HR. Muslim)*
* Dalam hadits ini juga menunjukan bahwa tuduhan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran bahwa Aisyah telah kafir adalah tidak benar, Karena jika memang Aisyah telah kafir lalu kenapa Aisyah sendiri yang meriwayatkan hadits ini. padahal yang menyebabkan Rasulullah salallahu’alaihi wasallam mengeluarkan hadits ini karena Aisyah radhiallahu’anha. Oleh karena itu orang –orang yang menyimpang tersebut tidak jujur didalam memahami sejarah.
Selain itu ada ancaman bagi orang yang tidak marah dalam kondisi-kondisi seperti ini, Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum yang mengerjakan kemaksiatan, kemudian mereka mampu untuk merubahnya tetapi mereka tidak melakukannya, maka Allah segera menimpakan siksa secara merata kepada mereka.” (HR. Abu Dawud)
Semua ini menjelaskan bahwa Rasulullah salallahu’alaihi wasallam juga pernah marah dan tidaklah Beliau marah kecuali terkait dengan hak-hak Allah subhanahu wata’ala. Inilah marah yang terpuji.
Namun perlu diingat bahwa marah yang dimaksudkan adalah marah yang tidak sampai mengeluarkan seseorang dari batas-batas kewajaran, yang berujung pada tingkat kekerasan dan penganiyayaan. Wallahu’alam

Saturday 2 May 2015

Wanita dan Rasa Malu



Banyak di antara wanita kaum muslimin saat sekarang ini telah kehilangan rasa malunya. Yaitu ketika mereka bebas bergaul dan bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Mereka sudah tidak merasa risih dengan penampilan mereka yang mempertontonkan auratnya yang menyebabkan kaum lelaki banyak yang terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan, berpaling dari agama dan mengikuti hawa nafsu.
Di dalam Al Qur’an banyak memberikan kita pelajaran bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap ketika mereka bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Di antaranya adalah bagaimana wanita itu menumbuhkan sifat malu dalam dirinya. Malu adalah sifat wanita yang memilki kemuliaan, ketika sifat ini hilang maka hilanglah pula kemuliaannya. Begitu pentingnya sifat malu ini bagi seorang wanita, maka Allah subhanahu wata’ala mengabadikan kisahnya  dalam Al Qur’an:
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". (QS. Al Qashash: 23)
Ayat diatas menceritakan kisah tentang Nabi Musa alaihissalam pada saat beliau melihat dua wanita yang memiliki akhlak yang mulia. Keduanya tidak berdesak-desakan dengan kaum lelaki (tatkala hendak memberi minum hewan gembalaannya). Keduanya menjauhkan kambing-kambing mereka agar tidak tercampur dengan kambing gembala lain supaya keduanya tidak di ganggu.
Ayat diatas menunjukan bahwa kedua wanita itu keluar dari rumah yang telah berhasil mendidik keduanya. Rumah yang mulia, yang mengagungkan kesucian diri dan rasa malu. Maka tatkala Nabi Musa alaihissalam mengetahui sebab kedua wanita itu keluar dari rumahnya. Yakni karena ayah mereka yang telah uzur, sehingga mengharuskan keduanya keluar dari pingitan (rumahnya), maka Nabi Musa alaihissalam pun menunaikan kewajibannya, menolong memberikan hewan gembalaan kedua wanita itu minum.
Al Qur’an melanjutkan kisah tersebut:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan Balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". (QS. Al Qashash: 23)
Al Qur’an menjelaskan kepada kita bagaimana semestinya yang di lakukan oleh seorang wanita dalam budi pekerti dan rasa malu. Al Qur’an menggambarkan bagaimana wanita mulia ini berjalan dengan ekspresi malu, bersih dan suci. Karena itulah Allah subhanahu wata’ala memilihkan untuk Nabi Musa alaihissalam istri dari salah satu diantara keduanya.
Demikianlah yang harus di lakukan oleh para orang tua/wali dalam mendidik anak-anaknya untuk memiliki sifat malu, karena malu adalah perhiasan wanita. Jika dia meninggalkannya, maka terlepaslah semua keutamaannya.
Sesungguhnya pada diri wanita-wanita sahabat juga terdapat contoh dalam hal ini, diataranya adalah Asama’ binti Abu Bakar  ketika sedang memikul biji-bijian di kepalanya dari kebun suaminya  Zubair, yang berjarak kurang lebih 2/3 mil, dia berpapasan dengan rombongan Rasulullah salallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya. Ketika beliau salallahu’alaihi wasallam ingin menolongnya, Asma’ menolak ajakan itu karena merasa malu berjalan bersama laki-laki. Padahal dia bersama Rasulullah salallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia.
Asma’ binti Abu Bakar menolak karena rasa malunya, dan tahu bahwa suaminya Zubair, sangat pencemburu. Mengetahui hal itu Nabi salallahu’alaihi wasallam pun berlalu membiarkannya.
Yang dapat kita ambil dari kisah Asma’ binti Abu Bakar adalah perkataannya: “Aku malu berjalan bersama laki-laki” yang menunjukan kesucian dirinya. Rasulullah salallahu’alaihi wasallam mengetahui sikap itu dan menghargainya.
Maka wajib bagi para wanita-wanita muslimah, terutama bagi mereka yang bergelar akhwat yang telah mengetahui ilmu syar’i untuk mencontoh para wanita sahabat. Mereka adalah suri teladan yang selamat dari hawa nafsu yang buruk.

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes